Sabtu, 20 Agustus 2011

ISLAM, PENCERAHAN, DAN TEKNOLOGI INFORMASI

Oleh: Sholahuddin
(Direktur The Tsaqifa Institute, Bermukim di Jepara)
Saya menulis artikel pendek ini dalam momentum Idul Fitri 1430 H, tepatnya di sebuah desa yang jaraknya sepuluh kilo meter dari pusat keramaian kota Jepara. Di depan layar monitor saya memulai merangkai kata, baris, dan paragraf. Jadilah karya tulis yang kini tersaji di hadapan Anda.

Setelah selesai, tulisan saya simpan dalam flashdisk, piranti elektronik yang memungkinkan seseorang menyimpan data beribu-ribu byte. Alat kecil, mungil, dan fashionable itu lantas saya bawa ke warnet (warung internet). Di sana saya buka surat elektronik (e-mail), dalam waktu beberapa detik saja, dengan menekan tombol “send” pada email box, tulisan tersebut telah terkirim di meja redaksi majalah ini.
Gambaran di atas hanyalah segelintir contoh bagaimana cepatnya arus informasi yang berada di tengah kehidupan mutakhir. Anthony Giddens, ahli sosiologi masyhur dari Inggris, mengatakan bahwa kita sekarang hidup dalam sebuah runaway world, dunia yang berlari tunggang langgang dengan cepat, karena begitu berjejalnya arus informasi di sekitar kita.
Adalah keniscayaan, kaum beragama di era gempa tektonik informasi layaknya sekarang untuk bisa menguasai berbagai teknologi informasi. Islam sebagai sebuah agama tidak bisa melepaskan diri dari tempias (makna asli: titik-titik air yang bepercikan) teknologi canggih tersebut.
Era teknologi informasi (TI), itulah yang menandai abad 21 ini. Barang siapa dapat mengendalikan informasi, maka dialah yang akan mendominasi segenap tatanan kehidupan. Sudah banyak film Barat yang menegaskan asumsi itu, Die Hard 4, salah satunya.
Walhasil, teknologi informasi adalah sesuatu yang tak terhindarkan dalam kehidupan keseharian kita. Teknologi informasi telah memasuki relung-relung kehidupan kita. Islam, sebagai agama yang dianut oleh satu milyar lebih dari penduduk dunia, tidaklah antiteknologi. Teknologi dalam perspektif Islam adalah sebagai wasail (perantara), bukanlah sebagai ghayah (tujuan).
Dalam perspektif ushul fiqh, meskipun hanya menempati wasail tetapi bisa jadi hukumnya adalah wajib, karena perantara tersebut bisa menunjukkan seseorang kepada sesuatu yang fardhu/wajib.
Wudhu adalah wajib hukumnya, karena wudhu menjadi syarat sahnya shalat. Orang yang shalat tanpa berwudhu maka tidak akan diterima sholatnya, begitu kata Nabi Muhammad SAW.
Jadi wudhu ini wasail (perantara) untuk sahnya sholat, hukumnya manut kepada hukum shalat. Karena shalat itu fardhu, begitu pula dengan wudhu. Hal ini ditegaskan oleh kaidah fiqh “Lil wasaail hukmul maqhashid (yang menjadi perantara itu bisa dihukumi dengan hukum yang dituju).”
Islam sebagai agama universal meniscayakan penguasaan terhadap segala jenis produk modernitas. Tidak hanya dalam tataran penguasaan, Islam juga mendukung spirit of progress (semangat kemajuan). Selama ini, penguasaan teknologi informasi masih di dominasi oleh negara-negara maju. Sementara negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim masih menjadi konsumen belaka.
Pertanyaan yang menghantui saya sebagai umat Islam adalah bagaimana metode untuk menjadikan umat Islam sebagai fa'il (subyek), dan bukan menjadi maf'ulun bihi (obyek) dalam laju perkembangan teknologi informasi sekarang?
Dengan bahasa lugas, bagaimana cara supaya umat Islam terbangun dan menyadari akan ketertinggalannya dengan umat-umat lain? Inilah pertanyaan abadi yang senantiasa menjadi perdebatan dalam pemikiran modern Islam.
Pendek kata salah satu masalah yang selalu menghantui umat Islam sepanjang sejarahnya adalah bagaimana kita bisa hidup sesuai dengan tuntutan teks agama di satu pihak, tetapi di sisi lain juga bisa menempatkan diri secara sejajar dengan perkembangan-perkembangan kemanusiaan? Bagaimana kita bisa terus menyesuaikan diri dengan perubahan, tetapi tetap menjadi Muslim yang baik?
Dirumuskan dengan kalimat lain yang agak sedikit “keren”, bagaimana menjadi muslim otentik yang tetap berpegang pada asas-asas pokok agama, sekaligus menjadi modern (how to be authentic and modern)? Bagaimana menjaga keseimbangan antara “ashalah” dan “hadatsah”, dalam kalimat yang populer di kalangan intelekual Arab mutakhir.
Membuka Diri Demi Kemajuan
Sebagian pemikir Islam berbeda pendekatan dan metode dalam menjawab pertanyaan di atas. Kendati demikian, ada satu benang merah yang bisa ditarik dari berbagai pendekatan yang beragam tersebut. Yakni, bahwa hanya pembebasan dirilah (self-liberating) yang dapat mengeluarkan umat Islam dari kondisi keterpurukan ini.
Pada level praktis, pembebasan adalah perlawanan terhadap kolonialisme secara fisik. Pada ranah teoretis dengan memberikan kebebasan penafsiran terhadap doktrin-doktrin agama, serta mengkaji ulang tradisi dan khazanah keagamaan kaum muslim.
Islam membutuhkan pencerahan. Salah satu tanda dari pencerahan adalah adanya keberanian untuk berfikir secara mandiri. Berfikir bebas, sphere Aude! Berani berfikir tanpa tergantung pada otoritas, baik otoritas keagamaan maupun yang lainya.
Cobalah lihat bagaimana sejarah pencerahan abad 18 di Perancis, Jerman, dan Amerika. Pencerahan ternyata telah membawa perubahan dahsyat dalam masyarakat. Perubahan yang membawa dampak peningkatan kehidupan masyarakat waktu itu.
Islam di era modern, haus akan seorang pembaharu (mujaddid). Dalam sebuah hadis disebutkan, Inna Allaha ba'atsa fi ra'si kulli miati sanatin man judaddidu dinaha (Allah akan mengutus seorang pembaharu pada setiap awal 100 tahun). Hadis ini secara tegas menegaskan adanya seorang reformer di setiap abad.
Pembaharu inilah yang akan memelopori perubahan baru dalam segenap kehidupan sosial. Ide pembaharuan akan hadir pertama kali dari keterasingan, dan akan kembali terasing lagi. Bada'aal islamu ghariban wa saya'udu ghariban kama bada’aha, fa thuba lil ghuraba' (Islam pada mulanya adalah asing, dan akan kembali asing sebagaimana permulaanya. Maka beruntunglah orang-orang yang asing).
Mulai dari sekarang, setidaknya agenda yang perlu dilakukan oleh ummat Islam adalah membuat cetak biru cita-cita masyarakat Islam ideal. Setelah agenda tersebut terlaksana, baru kemudian melakukan social engineering (rekayasa sosial) untuk menuju kepada masyarakat yang diidealkan tersebut.
Hal itu dapat terlaksana bila umat Islam sendiri dapat menyerap berbagai khazanah ilmu pengetahuan, termasuk produk modernitas berupa fasilitas teknologi informasi mutakhir, tanpa harus membedakan dari agama, ras, dan etnis mana, ilmu pengetahuan itu datang.

(Artikel ini pernah dimuat di Majalah Al Madinah Surabaya, Edisi Oktober 2009. Dipublikasikan di website ini dengan seizin Redaksi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar